Ah, merdeka kawan ! Narasi-narasi yang singgah papahlah ia ke tujuan terakhir-ke tujuan terakhir.
Siapa saja bisa berlari mengapa berlari jika tidak terburu Siapa saja bisa membenci mengapa membenci jika tak keliru
Ah, keliru kawan ! Rupanya nuansa komunikasi terlalu lamban bergerak, rasaku rasamu sebentar kantungi sebentar kantungi sebentar.
Ah, keliru kawan ! Kompas tergoyang, selalu akan kembali ke utara akan kembali ke selatan. Kerusuhan datang, selalu akan kembali ke kediaman akan kembali ke ketenangan.
Ah, keliru kawan ! Kebebasan seharusnya tidak melalui sungai darah, cukuplah cukup kemerdekaan itu. Pantas memang mengorbankan selaksa henti urat nadi.
Ah, pecundang ! Ini diksi ! mengapa tak kau isi saja dengan benci.
Ah, merdeka kawan ! Siapa saja bisa berlari mengapa membenci jika tak keliru
Rantai nan terikat erat dalam hati hancur berderai berkali-kali, hati bingung tak karuhan, bebas tanpa asas. Terangkai kembali rantai-rantai baru lebih besar dan kuat saat hati ini menatap kalimat-kalimat arab di suatu pagi dalam kelas.
O, setan bengis mulai menyusun rencana, datang dalam bentuk wanita. Cantik, berbibir merah, tipis, sensual. Tubuh montoknya melelehkan rantai ini dengan segera. Kembali kucari rantai itu berlari 'ku ke masjid. Doa-doa kecil kucoba temukan rantai pengikat hati.
Dengan akal busuk segerobolan setan mengelilingiku saat jiwa ini khusuk melihat dunia luar dalam pustaka, datang mereka dalam bentuk maya, lembut mereka berucap: "Ikutlah denganku kawan, dan bawa jendela duniamu itu bersama." Kutinggal mereka keluar dengan menenteng si jendela dunia, diiringi suara rantai berderai untuk kesekian kalinya. Kujumpai kembali rantai itu saat kulempar jenedela itu ke dalam rak bisu yang seolah-olah ketakutan menatapku. Rupanya iblis belum menyerah jua, kali ini datang berbentuk daun-daun kering seraya berkata: "Nyalakan aku duhai kasih, hisap dan rasakan kedahsyatan sensasiku! Aku yakin kau bakal ketagihan." Atas izin Sang Rantai, kuambil daun kering itu, kuputus cintanya lalu kubiarkan dijilat lidah sungai.
Tak lelah setan-setan itu mengganggu, tak lelah pula kujaga kesucian rantaiku. Biarpun kini ia datang berbentuk butiran-butiran kecil dikata obat sakit kepala, menawarkan fasilitas terbang tinggi ke atas pelangi. Tak segan kuludahi tawaran itu lalu kuinjak-injak di atas bumi.
Sementara rantai masih terikat dihati, kulihat wajah berkepala botak ini di depan cermin miring di dalam kelas. Kupeluk rantai itu, menangis hatiku seraya merintih doa: O, Tuhan, buatlah rantai ini mengikatku selalu, meski setan dengan strategi licik apapun coba melelehkan. Amin.
Rantai itu, lukisan iman nan kian timbul tenggelam.
Hadir dari sajak-sajak tercecer, kemudian kami kemas sebagai catatan-catatan
duplikat hati yang acap kali meraung menyuarakan irama-irama kebebasan,
kesefahaman, penolakan, penyesalan, kritik, keindahan dan romantisme. mungkin hanya rangkaian
huruf-huruf setengah jadi, namun izinkanlah ianya dinamai sebagai sajak. Hanya untuk menjembatani inspirasi-inpirasi terpasung, sangat sayang jika sekedar tertoreh di atas
lembaran kertas-kertas usang.