Beberapa di antara sajak-sajak yang dideklamasikan: Soker Puisi El-Haq
Diammu makin menjadi Seperti gerimis yang tak juga pergi
Kemana kata yang baru hadir Saat kita menepis tabir
Diammu mebuat perih Hingga kata yang sempat ada Kusimpan saja dalam basah mata
20.25/10-12-1427 "Ladang Batu ---------------------------------------------------------------- Langkahku Puisi Annie
Menyingkirkanku, Mengucilkanku, Kecil… Pilon.. dan nanar.. Pemberontak dan sesuatu yang layak ditolak Ah, terserah kamu Itu urusanmu dengan hatimu Memang kadang hati tak pernah dimengerti Dan aku? Aku tetap melangkah Karena aku sadar Aku akan sampai di baris kedua Sementara kakiku masih menginjak garis pertama. ----------------------------------------------------------------
Apa dan Siapa Puisi Imas Jihan
Saat ini kita adalah apa Saat ini kita adalah siapa Saat ini kita adalah kenapa Dan saat ini kita adalah berapa
Ketika pangkat menjadi siapa Harta menjadi apa Dunia seperti apa Kecerdasan milik siapa
Dan hari esok… Masih adakah yang tersisa Meski hanya apa dan siapa? ----------------------------------------------------------------
Sebuah Karena Puisi Mama Vika
Karena kutahu… Ada jejak tak berujung Karena kutahu… Ada yang tertidur dalam derita Karena kutahu… Ada hidup dalam mati Karena ada cinta yang terasa sakit Karena kutahu… Ada bias dalam sepi Karena kutahu… Ada mentari yang masih terbit …esok hari. ----------------------------------------------------------------
MASA Puisi Faisal Zulkarnaen
Ketika waktu menjejakkan kakinya Langkah-langkah pelan namun pasti Menuntun kita tanpa batas pasti Kecuali mati
Tanpa rasa kita lalui Tanpa bau kita ikuti Waktu…
Untuk apa kita melaju? Menyelinap celah-celah masa Adakah jejak kita seharum kenanga? Atau hanya tahi kucing kering?
Saat tukang nasi goreng lewat Meninggalkan bau harum bawang Yang membuat perut makin melintir Apakah seperti itu?
Atau seperti pohon rindang Yang memberikan keteduhan Ketika pak Tani berpeluh kepanasan Setelah berdansa dengan cangkul dan lumpur?
Apakah diam lilin Yang terangi kesunyian malam Namun leleh dan lebur?
Atau kita terus akan manyun Membiarkan waktu Merajang halus harapan impian kita? Lalu dihembus semilir angin?
Waktu… hanya akan pergi tiada pernah akan kembali
Demi masa…
Cairo, Juli 2004 ----------------------------------------------------------------
FIRDAUS Puisi Falahuddin Qudsi
Kini Firdaus-Mu telah berubah, Tuhan Menjadi senjata kawanan pembajak Juga bom waktu dan peluru
Seperti tiada maaf lagi untukku Ramadhan tetap Ramadhan Seperti tiada hati lagi untukku Ramadhan tetap Ramadhan
tidak ada yang melarang engkau untuk terus menuliskan namamu pada kertas-kertas koran, dinding-dinding perkotaan, situs-situs kesusastraan, narasi-narasi kematian, dan bahkan batu nisan pekuburan-pekuburan. yang melerai hanya detak di sanubarimu itu. Wajarkah?
menyeret apa saja mendekat, kau ajak ia berlari dan terus saja berlari ke dunia itu; dunia yang sangat jarang dikunjungi pelancong. engkau memang merasai selesa. Menikmati setiap inci langkah keegoisan, setiap tetes keringat kesendirian.
tidak kasihankah kau, badan yang lapuk itu terus saja harus menuruti titahmu. Malam dijadikan siang, siang dijadikan malam. ah, apa bedanya raga itu dengan keledai yang terus dicambuki penjaja kaki lima. dia sangat capek sekali.
tidak kasihankah kau, hati orang-orang yang sudah terlanjur tercarut? yang setengah nafasnya hampir menyatu dengan nafasmu. dan cobalah kau perhatikan, bukankah setengah nafasmu juga begitu? sudah hampir setengahnya menyatu dengan nafas mereka. tidak kasihankah kau, hatimu yang sudah terlanjur tercarut. ___________________________
Ah, kau fikir aku seperti keledai yang kau ceritakan itu? jika bukan aku yang menjadi pedagang kaki lima, tentu mereka. dan aku keledainya. apa kau tidak pula merasa mengajak apa saja mendekat untuk dibaptis menjadi pengikut-pengikut dungu.
teruslah berbicara tentang kelapukan raga, tentang segala keletihan. Lalu mengapa kau ajak ia berkeliling menelusuri Rumah-rumah ibadat yang jauh-jauh itu. Yang terdekat sajalah. di sini setiap radius seratur meter selalu kau dapati menara menjulang. menghitungi bintang-bintang. bukankah sama saja, kita sama-sama mengejar ketinggian itu?
dan mereka itu, siapa suruh mendekat? sudah tau aku sedikit gila. berani mendekakan diri, bukan hanya siap untuk lebih didekati; Tetapi harus siap pula untuk dijauhi. Justru seharusnya aku yang mencaci. Nafasku yang tercuri itu; Malah lebih dari setengahnya. Sudahlah aku capek. Salah-salah, bisa aku yang jadi keledai.
Ada kepentingan apa lagi? aku sudah sangat jauh menyepi Ada kepentingan apa lagi? aku sudah sangat jauh menepi
Sungai demam Karang lekang Pasir pecah pelan-pelan
Gurun mengerang: Babilon! Defile berjalan
Lalu Tuhan memberi mereka bumi Tuhan memberi mereka nabi
Antara sejarah dan sawah hama dan Hammurabi
Setelah itu, kita tak akan di sini
Kau dengarkah angin ngakak malam-malam ketika bulan seperti susu yang tertikam ketika mereka memperkosa Mesopotomia?
Seorang anak berlari, dan seperti dulu ia pun mencari-cari kemah di antara pohon-pohon tufah
Jangan menangis.
Belas adalah Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata jadi magma, bara yang diterbangkan bersama belibis, burung-burung sungai yang akan melempar pasukan revolusi dengan besi dan api "Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak. Bumi perang sabil.
Karena itulah, mullah, jubah ini selalu kita cuci dalam darah di tebing Tigris yang kalah Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala akan kita temui pembunuhan yang lebih purba.
(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
meski setiap saat kau bangun gubuk dalam dirimu aku yakin tidak akan pernah rampung kau dirikan itu sebab kau selalu kalah oleh waktu
meski kau terus kelana sekalipun aku berani memastikan tak akan bisa kau bangun cita-cita itu sebab putaran waktu selalu saja kau timbun menggilasmu dan kau lena oleh mimpi-mimpimu
segala waktu milikmu kubaca dan kau adalah kalah yang tidak mau kalah sebenarnya
kau yang kan pulang, kau yang kan hilang kau yang kan membayang, kau yang kan terkenang
bukan Chairil Anwar bukan Calzoum Bachri bukan Taufiq bukan Rendra bukan Emha bukan Ronggowarsito Mereka adalah jantung Aku adalah darah selama masaku bercumbu dengan waktu
Ya lahwi, hatiku dirundung duka merajut benang hampa
Ya lahwi, jendelajendelamu telah terkunci, hanya tertinggal sepi
Ya lahwi, kutinggal sepi kurengkuh gaduh
Ya lahwi, kau usir aku "Pergilah!" katamu
Ya lahwi, "Kenapa?" Tanyaku padamu
Ya lahwi, "Begitulah!" Jawabmu
Ya lahwi, Lalu kataku, "Ya sudah, aku pergi!"
Antara Husein dan Makram Abied, 9 September 2003.
*"Ya lahwi!" adalah ungkapan dalam bahasa sehari-hari Mesir yang dapat diartikan dengan "Amboi!" dalam Bahasa Indonesia, lebih nikmat jika diucapkan dengan suara yang agak meninggi, "Ya lahwiiii...."
Hadir dari sajak-sajak tercecer, kemudian kami kemas sebagai catatan-catatan
duplikat hati yang acap kali meraung menyuarakan irama-irama kebebasan,
kesefahaman, penolakan, penyesalan, kritik, keindahan dan romantisme. mungkin hanya rangkaian
huruf-huruf setengah jadi, namun izinkanlah ianya dinamai sebagai sajak. Hanya untuk menjembatani inspirasi-inpirasi terpasung, sangat sayang jika sekedar tertoreh di atas
lembaran kertas-kertas usang.