Ibu, Apakah aku harus ke sini? Untuk apa aku di sini?
Mengapa aku harus lari dari negeriku, demi sebuah gelar dan pengetahuan?
Negeriku sedang sakit apa Bu? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah negeriku sedang sakit yang sebegitu parah, hingga perlu istirahat panjang berabad-abad?
Di mana negeriku dirawat Bu? Aku ingin menjenguknya. Ingin sekali menjenguknya. Siapa sajakah yang merawatnya Bu? Siapa saja? Siapa yang menyediakan makan dan minum untuknya? Siapa juga yang bersedia memberi obat demi kesembuhannya Bu? Ibu? Kapan negeriku akan sembuh? Kapan Bu? Aku sudah rindu dengan senyumnya. Aku sangat rindu dengan belaian dan kasih sayangnya.
Ibu, Aku baru saja mendengar kabar tentang negeriku dan negerimu kabarnya Tanah Airku dan Tanah Airmu telah kehilangan tanah dan airnya, kabarnya Tumpah Darahku dan Tumpah Darahmu tak henti-hentinya menumpahkan darah, kabarnya Negeri Ketuhananku dan Negeri Ketuhananmu telah melupakan Tuhannya, kabarnya Bangsaku dan Bangsamu yang ramah-tamah itu telah mulai pongah dan serakah, kabarnya Negeri Kepulauanku dan Negeri Kepulauanmu itu telah mulai ditinggalkan pulau-pulaunya, kabarnya Ibu pertiwiku sekarang sendirian, kesepian, kebingungan, dan sakit-sakitan. Benarkah semua itu Bu?
Ibu, Putra-putrimu di sini sedang berkecil hati Melihat Ibu berduka cita
Ibu, Maafkan aku Putra-putrimu di sini sering melupakanmu
sekuat - kuat gelombang harus lebih kuat tembok karena puncak kekuasaan adalah ideologi gembok
tembok didirikan sekukuh - kukuhnya agar gelombang terbentur sia - sia
gelombang direndam menjadi ombak semilir
gelombang itu alam tembok itu teknologi kekuasaan timbul tenggelam sedang jiwamu abadi
( 2 )
berhentilah memenjaraku sebab jeruji besi dan sel pengurungku terletak di dalam dadamu sendiri tanpa bisa kemanapun kau pindahkan
kalau kau usir kau pikir kemana aku hendak pergi sedang lubuk jiwamu itulah alam semestaku aku berumah di keremangan jiwamu bilikku tersembunyi di balik kesunyian nuranimu
jadi berhentilah mendirikan tembok - tembok karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada
kau sang aku ini gerak atau semacam gerakan padahal tak kupunyai apapun yang bisa kugerakkan dan apabila kau jumpai bayangan gerak pada yang kau sebut aku hendaklah jelas bagimu bahwa hanya Tuhan yang sanggup memantulkan diriNya sendiri
aku membesar - besarkanmu dan kau membesar - besarkanku kita saling merasa terancam oleh enerji yang mendesak - desak padahal ia hanyalah air nuranimu sendiri yang menggelombang dan sebagaimana udara yang berhembus ia berasal dari ruh uluhiyah kita sendiri
kita saling memandang melalui metoda benda kita saling bersentuhan lewat tahayul peristiwa - peristiwa padahal di awal dan akhir nanti akan ternyata yang kita sangka kita bukanlah kita
engkau bisa menangkap benda tapi geraknya luput dari kuasamu engkau bisa menghentikan peristiwa tetapi arusnya lolos dari cengkeramanmu
engkau bisa membendung air tapi gelombangnya melompatimu ke masa depan engkau bisa membuntu udara tapi tenaganya memergokimu di tempat yang tak kau duga
jadi sudahlah untuk apa kau bungkam mulutku sedangkan yang bersuara adalah mulutku untuk apa engkau stop langkahku
sedangkan yang berjalan adalah sanubarimu sendiri sedangkan yang bergema adalah pekikan hatimu sendiri bergaung melintasi segala angkasa menembus seluruh langit mengatasi negara - negara dan propinsi - propinsi melompati kepulauan, samudera dan benua - benua
maka untuk apa engkau bungkam suaraku karena toh kesunyian lebih berteriak dibandingkan mulutku untuk apa kau habiskan tenaga untuk membangun pagar dan rambu - rambu sedang setiap menjelang tidur selalu engkau diseret kembali oleh gelombang itu
EMHA AINUN NADJIB - 1994 DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN"
curi, mencuri, pencurian, kecurian, percurian yang mengalir dari mulut ke mulut tangan ke tangan, kegelapan ke kegelapan
kita curi apa saja, Mobil Motor Televisi lalu yang melihat meneriaki, Maling! Maling! hanguslah ia dibakar, karena kejadian terulang-ulang
kita curi apa saja, Saham Manifestasi Kesejahteraan lalu yang melihat meneriaki, Koruptor! Koruptor! tertawalah kita terbahak, "eh, dia belum kebagian?"
kepentingan mana lagi kekalahan mana lagi
manusia manapun pernah mencuri curi-curi apa saja segala bentuk, segala bukan bentuk menulis tulisan, tulisan curian mendengar musik, musik curian menonton film, film curian menelpon, pulsa curian ah, yang ini orang jarang peduli
mencuri curian, curian curian
manusia manapun pernah mencuri setidaknya, mencuri-curi pandang
curi, mencuri, pencurian, kecurian, percurian manusia manapun pernah mencuri
Tuhan... Mereka bertanya tentang-Mu kepadaku dengan lima W satu H
Apakah Engkau ada saat semua tiada Dimana kau saat semau tiada Kapan Engkau mulai ada Siapa yang tahu waktu itu Engkau ada Mengapa Engkau ada Bagaimana Engkau bisa ada
Hu... Allhu... Hu... Allahu... Hu... Allahu... Tuhan... Mereka menalarmu dengan akal-akal Mereka yang mengaku berakal Mengakui akal-akal mereka mampu berakal-akal Dzat-Mu yang tak bisa diakal Tuhan... Berikan bukti bagi mereka lewat akal-akal Mereka yang berakal Hingga tahu Engkau tak bisa diakal-akal
Menjelang fajar ketika bayangan putih di ufuk pagi antara tidur dan terjaga dalam petakan ruang hatiku sangat lapang menyanyikan tasbih melantunkan takbir
Bintang lelap langit senyap ia menemuiku kembali tenang... indah... damai...
Lihat Pedang taubat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia-sia Telah kulaksanakan puasa Ramadhanku, telah kutegakkan shalat malam, telah kuuntai wirid tiap malam dan siang, telah kuhamparkan sajadahku, yang tak hanya nuju Ka’bah, tapi ikhlas mencapai hati dan darah. Dan di malam Qadar aku pun menunggu Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku Aku bilang: Tardji, rindu yang kau wudhukan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janjiNya Bagi yang merindu insya-Allah kan ada mustajab cinta
Maka walau tak jumpa dengannya shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku pada-Nya Dan semakin dekat Semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut di jalan lurus Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kini biarkan aku menenggak arak cahaya-Mu di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoar tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia
Maka pagi ini Kukenakan zirah la ilaha illallah, aku pakai sepatu sirathal mustaqim, akupun lurus menuju lapangan tempat shalat Ied, Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat dan kurayakan kelahiran kembali di sana.
Hadir dari sajak-sajak tercecer, kemudian kami kemas sebagai catatan-catatan
duplikat hati yang acap kali meraung menyuarakan irama-irama kebebasan,
kesefahaman, penolakan, penyesalan, kritik, keindahan dan romantisme. mungkin hanya rangkaian
huruf-huruf setengah jadi, namun izinkanlah ianya dinamai sebagai sajak. Hanya untuk menjembatani inspirasi-inpirasi terpasung, sangat sayang jika sekedar tertoreh di atas
lembaran kertas-kertas usang.